Cari Blog Ini

Rabu, 23 Juli 2025

Kisah Dua Mahkota (Latar Tempat)





Istana Cosmic, bukan sekadar tempat tinggal raja dan ratu, melainkan pusat semesta tempat waktu bergetar perlahan dan bintang-bintang menunduk dalam takzim. Mengapung tinggi di atas samudra awan, istana ini tidak dibangun dari batu biasa, melainkan dari batuan antariksa dan doa-doa para penjaga cahaya.

Menara-menara rampingnya menjulang seperti jari-jari angin yang sedang berdoa, memeluk kristal raksasa yang melayang di atasnya—Kristal Penerang Abadi, sumber sihir dan pelindung bagi seluruh Kerajaan Antariksa. Kristal itu berdenyut dengan cahaya lembut, menyambung kekuatan antara langit, tanah, dan takdir.

Bila kau menjejakkan kaki di gerbangnya, kau takkan mendengar langkahmu sendiri. Suara akan tenggelam oleh kemegahan hening yang mengambang. Pilar-pilar putih keperakan membelah udara, diselubungi kabut tipis yang mengandung bisikan para leluhur. Tak ada tanah di bawah istana—hanya batu-batu raksasa yang melayang, seperti mimpi-mimpi yang belum sempat jatuh ke bumi.

Di malam hari, bintang-bintang turun mendekat, berputar mengelilingi puncak kubah birunya seperti burung-burung galaksi yang pulang ke sarang. Dan planet-planet di kejauhan terlihat seperti lentera-lentera kecil yang ditempatkan oleh tangan para dewa.

Air terjun cahaya mengalir dari dasar pulau terapungnya, mengaliri awan-awan yang lembut seperti bulu angsa, menciptakan kabut magis yang menyembunyikan dunia di bawahnya dari mata musuh dan manusia biasa. Hanya yang diberkahi oleh Ratu Cosmic yang bisa melihatnya… atau bahkan mengingat jalannya.

Ruang-ruangnya bukan sekadar bilik dan aula. Mereka adalah penjaga rahasia. Ada lorong-lorong yang hanya muncul saat rembulan penuh. Ada pintu yang hanya terbuka jika dibisikkan nama yang hilang. Ada ruang doa, di mana Ratu Cosmic berbicara dengan bintang mati. Ada taman langit, tempat Raja Akamaru dulu bermain, di antara bunga-bunga yang tumbuh dari cahaya bintang jatuh.

Istana Cosmic adalah nyawa dari kerajaan langit. Ia tidak bisa dihancurkan oleh senjata, sebab ia bukan terbuat dari materi. Ia adalah wujud dari cinta yang terus menyala—cinta seorang ibu, cinta dari langit, dan cinta dari mereka yang percaya pada keindahan yang tak bisa dijelaskan.

Jika kau beruntung, kau mungkin melihatnya sekali, dari kejauhan, seperti bintang jatuh yang menolak jatuh sepenuhnya.

Dan bila kau mencintai langit dengan cukup dalam, mungkin… ia akan mengizinkanmu masuk.


Di ujung alam semesta, tempat waktu melambat dan cahaya bernyanyi dalam irama yang tak dikenal manusia, berdirilah Kerajaan Antariksa—sebuah negeri yang tak ditulis di peta mana pun, hanya bisa ditemukan oleh hati yang masih percaya pada keajaiban.

Wilayahnya begitu luas hingga tak bisa diukur, membentang seperti nyanyian cahaya yang tak kunjung usai. Di sini, planet-planet melayang perlahan bagai buah angkasa yang belum dipetik. Bulan dan matahari menggantung manja dari cabang-cabang pohon raksasa—pohon suci yang berbuah bintang dan menggugurkan cahaya setiap malam, seperti hujan perak di taman surgawi.

Langitnya bukan biru, bukan ungu, bukan pula hitam—melainkan selimut transparan bertabur galaksi, tempat bintang-bintang menari dan menunduk penuh hormat pada tanah suci di bawahnya.

Air terjun mengalir dari tebing-tebing cahaya, bukan air biasa, melainkan aliran kehidupan, hangat dan lembut, menyelimuti bebatuan dengan pelukan lembut dari langit. Dan di sekitarnya, tumbuhlah tumbuhan dengan daun-daun bercahaya, bunga-bunga bercahaya lembut yang mekar perlahan lalu berubah menjadi peri mungil bersayap cahaya—makhluk-makhluk lembut yang berbisik kepada angin, menjaga kedamaian dengan nyanyian halus yang hanya bisa didengar oleh jiwa-jiwa tulus.

Para kucing cantik berkeliaran bebas di antara rerumputan berbintang, duduk anggun di tepi air, memandang langit seakan mereka bagian dari nyanyian alam semesta. Mereka bukan hewan biasa—mereka adalah penjaga rahasia kerajaan, pembaca gema langit yang memahami bahasa bintang.

Di antara pohon dan cahaya, kau akan melihat manusia bergaun cahaya—lembut, bersinar, wajah mereka seperti fajar pertama. Mereka hidup berdampingan dengan ras kucing, makhluk anggun yang berjalan ringan seperti bayangan senja, dengan mata bersinar dan langkah setenang air tenang. Mereka adalah keturunan langit dan bumi, makhluk-makhluk yang menjaga batas antara keindahan dan kekacauan.

Ia adalah pelukan lembut semesta bagi semua yang percaya bahwa keindahan tak harus memiliki bentuk. Bahwa cahaya bisa menjadi tanah, dan cinta bisa menjadi kerajaan. Dan jika suatu hari kau tersesat dalam malam yang terlalu panjang, mungkin, hanya mungkin… sebuah bintang akan turun, menuntunmu pulang ke negeri ini—ke negeri yang hanya bisa dilihat oleh jiwa yang masih bermimpi.


Negeri Tanah Tua dahulu adalah pelataran yang dipuja bintang. Tanahnya pernah menyimpan bunga yang tumbuh dari cahaya pagi, dan pohon-pohonnya menjulang dengan dedaunan yang bisa menyembuhkan luka. Tapi waktu tak pernah ramah pada negeri yang dilupakan—dan kini, negeri itu hanya bisa dikenang oleh mereka yang tinggal... bukan karena ingin, melainkan karena tak bisa pergi.

Di balik kabut malam yang tak pernah reda, Tanah Tua menyisakan keindahan yang terbungkus luka. Pohon-pohonnya masih berdiri, tapi kering, bengkok seperti tubuh tua yang tak lagi kuat menahan langit. Cabangnya tajam, rantingnya mencakar udara seolah minta dikasihani. Tanahnya pecah—kering, haus, retak oleh tangisan yang tak pernah terdengar.

Di antara pohon-pohon mati itu, berkeliaran penduduk yang kelaparan. Mereka bukan lagi manusia sepenuhnya, melainkan bayang-bayang diri mereka yang dahulu. Pakaian mereka compang-camping, digerogoti angin dan waktu. Mata mereka kosong, seakan tak ada lagi yang bisa ditunggu selain senja terakhir. Beberapa dari mereka hanya berjalan—tanpa arah, tanpa harapan, seperti lagu yang lupa bagaimana caranya berakhir.

Namun yang paling menyayat adalah para kucing bertubuh manusia, ras kuno yang dulu berjaga atas cahaya malam. Kini, mereka mengenakan pakaian sobek, wajahnya tercakar, dan tubuhnya melengkung dalam sikap bertahan hidup. Mereka menyerang sesama, bukan karena benci, tapi karena perut mereka sudah lama tak mengenal kenyang.

Taring mereka mencuat, cakarnya menari seperti mimpi buruk yang dipaksakan hidup. Di sekeliling mereka, para mayat hidup, atau mungkin hanya sisa manusia, bergerak pelan, matanya dipenuhi kelaparan dan kehilangan yang tak bisa dijelaskan.

Langit di atas Tanah Tua tak lagi berbintang. Ia menutup wajahnya. Seolah malu telah membiarkan negeri ini jatuh sejauh itu.

Ia adalah reruntuhan dari harapan, namun dalam heningnya, masih ada jejak indah yang belum lenyap sepenuhnya. Ia bukan hanya ladang tandus—ia adalah peringatan: bahwa bahkan tanah yang pernah dicium langit pun bisa dilupakan, bila cahaya tak dijaga dan keserakahan tidak dikenalikan. 


Hutan ini bukan sekadar lebat dan gelap. Ia hidup. Ia mengingat. Ia menyimpan rahasia tua yang dibisikkan oleh angin dan disembunyikan di balik ranting patah dan akar mencurigakan. Pohon-pohon menjulang dengan tubuh tua berkerut, dan dari batang-batang mereka menjulur mawar-mawar hitam berduri—indah dalam kesedihan, mekar di atas penderitaan, dan mengeluarkan aroma manis yang bisa menipu siapa pun yang terlalu percaya pada keindahan.

Di bawahnya, akar-akar mencuat seperti tangan tua yang ingin menggenggam leher siapa saja yang berani terlalu dekat. Akar-akar itu bisa bergerak. Mereka pernah mencabut ksatria dari pelananya, pernah mematahkan tongkat sihir para penyihir angkuh. Mereka tak peduli siapa kamu. Mereka hanya tahu bahwa tanah ini telah disakiti, dan kini ia menggigit balik.

Binatang-binatang buas berkeliaran dalam diam. Bukan binatang biasa—melainkan makhluk-makhluk yang pernah jadi pelindung langit, dikutuk oleh peperangan yang tak adil. Matanya menyala merah, cakarnya melukai tidak hanya daging, tapi juga jiwa. Salah satu dari mereka, penjaga malam berbulu kelam, mengintai dari balik reruntuhan—tak menggonggong, tak meraung, hanya menunggu... dalam sabar yang beracun.

Di tengah hutan, mengalir sungai, tapi bukan air yang mengalir di dalamnya—melainkan darah. Merah, kental, membawa serpihan kutukan dan nama-nama yang terlupakan. Ia bermuara entah ke mana, tapi ia membawa semua cerita yang tak selesai, semua dendam yang belum tuntas.

Tersebar di sepanjang tepian sungai, makam-makam kuno berbaris rapi dalam keheningan yang menyayat. Batu nisannya berlumut, beberapa retak, tapi masih menjaga nama-nama yang pernah dicintai. Ada yang runtuh, ada yang sudah ditelan akar. Di antara nisan dan sungai, berdiri bangunan indah yang kini runtuh—mungkin dulunya kuil, mungkin istana kecil. Dindingnya retak, atapnya hilang, tapi masih menyimpan kemegahan samar yang membuatmu ingin menangis, meski tak tahu kenapa.

Hutan Terlarang adalah tempat di mana luka-luka semesta bermekaran.
Ia bukan sekadar menyeramkan—ia adalah kenangan yang tak bisa dimaafkan. Tapi jauh di dalam, sangat jauh, masih tersisa alam yang indah, meski nyaris hancur.

Masuklah jika kau mau. Tapi jangan berharap bisa keluar tanpa membawa luka.
Karena hutan ini… tidak pernah lupa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dandelion Seri 1 Bagian 9

  ✨ Di kota yang tak pernah tidur, kasih dan kebencian berdansa di bawah langit keemasan Abu Dhabi. ✨ Cerita ini sudah selesai dan bisa ...