Istana
Cosmic, bukan sekadar tempat tinggal raja dan ratu, melainkan pusat semesta
tempat waktu bergetar perlahan dan bintang-bintang menunduk dalam takzim.
Mengapung tinggi di atas samudra awan, istana ini tidak dibangun dari batu
biasa, melainkan dari batuan antariksa dan doa-doa para penjaga cahaya.
Menara-menara
rampingnya menjulang seperti jari-jari angin yang sedang berdoa, memeluk
kristal raksasa yang melayang di atasnya—Kristal Penerang Abadi, sumber sihir
dan pelindung bagi seluruh Kerajaan Antariksa. Kristal itu berdenyut dengan
cahaya lembut, menyambung kekuatan antara langit, tanah, dan takdir.
Bila
kau menjejakkan kaki di gerbangnya, kau takkan mendengar langkahmu sendiri.
Suara akan tenggelam oleh kemegahan hening yang mengambang. Pilar-pilar putih
keperakan membelah udara, diselubungi kabut tipis yang mengandung bisikan para
leluhur. Tak ada tanah di bawah istana—hanya batu-batu raksasa yang melayang,
seperti mimpi-mimpi yang belum sempat jatuh ke bumi.
Di
malam hari, bintang-bintang turun mendekat, berputar mengelilingi puncak kubah
birunya seperti burung-burung galaksi yang pulang ke sarang. Dan planet-planet di
kejauhan terlihat seperti lentera-lentera kecil yang ditempatkan oleh tangan
para dewa.
Air
terjun cahaya mengalir dari dasar pulau terapungnya, mengaliri awan-awan yang
lembut seperti bulu angsa, menciptakan kabut magis yang menyembunyikan dunia di
bawahnya dari mata musuh dan manusia biasa. Hanya yang diberkahi oleh Ratu
Cosmic yang bisa melihatnya… atau bahkan mengingat jalannya.
Ruang-ruangnya
bukan sekadar bilik dan aula. Mereka adalah penjaga rahasia. Ada lorong-lorong
yang hanya muncul saat rembulan penuh. Ada pintu yang hanya terbuka jika
dibisikkan nama yang hilang. Ada ruang doa, di mana Ratu Cosmic berbicara
dengan bintang mati. Ada taman langit, tempat Raja Akamaru dulu bermain, di
antara bunga-bunga yang tumbuh dari cahaya bintang jatuh.
Istana
Cosmic adalah nyawa dari kerajaan langit. Ia tidak bisa dihancurkan oleh
senjata, sebab ia bukan terbuat dari materi. Ia adalah wujud dari cinta yang
terus menyala—cinta seorang ibu, cinta dari langit, dan cinta dari mereka yang
percaya pada keindahan yang tak bisa dijelaskan.
Jika
kau beruntung, kau mungkin melihatnya sekali, dari kejauhan, seperti bintang
jatuh yang menolak jatuh sepenuhnya.
Dan
bila kau mencintai langit dengan cukup dalam, mungkin… ia akan mengizinkanmu
masuk.
Di
ujung alam semesta, tempat waktu melambat dan cahaya bernyanyi dalam irama yang
tak dikenal manusia, berdirilah Kerajaan Antariksa—sebuah negeri yang tak
ditulis di peta mana pun, hanya bisa ditemukan oleh hati yang masih percaya
pada keajaiban.
Wilayahnya
begitu luas hingga tak bisa diukur, membentang seperti nyanyian cahaya yang tak
kunjung usai. Di sini, planet-planet melayang perlahan bagai buah angkasa yang
belum dipetik. Bulan dan matahari menggantung manja dari cabang-cabang pohon
raksasa—pohon suci yang berbuah bintang dan menggugurkan cahaya setiap malam,
seperti hujan perak di taman surgawi.
Langitnya
bukan biru, bukan ungu, bukan pula hitam—melainkan selimut transparan bertabur
galaksi, tempat bintang-bintang menari dan menunduk penuh hormat pada tanah
suci di bawahnya.
Air
terjun mengalir dari tebing-tebing cahaya, bukan air biasa, melainkan aliran
kehidupan, hangat dan lembut, menyelimuti bebatuan dengan pelukan lembut dari
langit. Dan di sekitarnya, tumbuhlah tumbuhan dengan daun-daun bercahaya,
bunga-bunga bercahaya lembut yang mekar perlahan lalu berubah menjadi peri
mungil bersayap cahaya—makhluk-makhluk lembut yang berbisik kepada angin,
menjaga kedamaian dengan nyanyian halus yang hanya bisa didengar oleh jiwa-jiwa
tulus.
Para
kucing cantik berkeliaran bebas di antara rerumputan berbintang, duduk anggun
di tepi air, memandang langit seakan mereka bagian dari nyanyian alam semesta.
Mereka bukan hewan biasa—mereka adalah penjaga rahasia kerajaan, pembaca gema
langit yang memahami bahasa bintang.
Di
antara pohon dan cahaya, kau akan melihat manusia bergaun cahaya—lembut,
bersinar, wajah mereka seperti fajar pertama. Mereka hidup berdampingan dengan ras
kucing, makhluk anggun yang berjalan ringan seperti bayangan senja, dengan mata
bersinar dan langkah setenang air tenang. Mereka adalah keturunan langit dan
bumi, makhluk-makhluk yang menjaga batas antara keindahan dan kekacauan.
Ia
adalah pelukan lembut semesta bagi semua yang percaya bahwa keindahan tak harus
memiliki bentuk. Bahwa cahaya bisa menjadi tanah, dan cinta bisa menjadi
kerajaan. Dan jika suatu hari kau tersesat dalam malam yang terlalu panjang,
mungkin, hanya mungkin… sebuah bintang akan turun, menuntunmu pulang ke negeri
ini—ke negeri yang hanya bisa dilihat oleh jiwa yang masih bermimpi.
Negeri
Tanah Tua dahulu adalah pelataran yang dipuja bintang. Tanahnya pernah
menyimpan bunga yang tumbuh dari cahaya pagi, dan pohon-pohonnya menjulang
dengan dedaunan yang bisa menyembuhkan luka. Tapi waktu tak pernah ramah pada
negeri yang dilupakan—dan kini, negeri itu hanya bisa dikenang oleh mereka yang
tinggal... bukan karena ingin, melainkan karena tak bisa pergi.
Di
balik kabut malam yang tak pernah reda, Tanah Tua menyisakan keindahan yang
terbungkus luka. Pohon-pohonnya masih berdiri, tapi kering, bengkok seperti
tubuh tua yang tak lagi kuat menahan langit. Cabangnya tajam, rantingnya
mencakar udara seolah minta dikasihani. Tanahnya pecah—kering, haus, retak oleh
tangisan yang tak pernah terdengar.
Di
antara pohon-pohon mati itu, berkeliaran penduduk yang kelaparan. Mereka bukan
lagi manusia sepenuhnya, melainkan bayang-bayang diri mereka yang dahulu.
Pakaian mereka compang-camping, digerogoti angin dan waktu. Mata mereka kosong,
seakan tak ada lagi yang bisa ditunggu selain senja terakhir. Beberapa dari
mereka hanya berjalan—tanpa arah, tanpa harapan, seperti lagu yang lupa
bagaimana caranya berakhir.
Namun
yang paling menyayat adalah para kucing bertubuh manusia, ras kuno yang dulu
berjaga atas cahaya malam. Kini, mereka mengenakan pakaian sobek, wajahnya
tercakar, dan tubuhnya melengkung dalam sikap bertahan hidup. Mereka menyerang
sesama, bukan karena benci, tapi karena perut mereka sudah lama tak mengenal
kenyang.
Taring
mereka mencuat, cakarnya menari seperti mimpi buruk yang dipaksakan hidup. Di
sekeliling mereka, para mayat hidup, atau mungkin hanya sisa manusia, bergerak
pelan, matanya dipenuhi kelaparan dan kehilangan yang tak bisa dijelaskan.
Langit
di atas Tanah Tua tak lagi berbintang. Ia menutup wajahnya. Seolah malu telah
membiarkan negeri ini jatuh sejauh itu.
Ia
adalah reruntuhan dari harapan, namun dalam heningnya, masih ada jejak indah
yang belum lenyap sepenuhnya. Ia bukan hanya ladang tandus—ia adalah
peringatan: bahwa bahkan tanah yang pernah dicium langit pun bisa dilupakan,
bila cahaya tak dijaga dan keserakahan tidak dikenalikan.
Hutan
ini bukan sekadar lebat dan gelap. Ia hidup. Ia mengingat. Ia menyimpan rahasia
tua yang dibisikkan oleh angin dan disembunyikan di balik ranting patah dan
akar mencurigakan. Pohon-pohon menjulang dengan tubuh tua berkerut, dan dari
batang-batang mereka menjulur mawar-mawar hitam berduri—indah dalam kesedihan,
mekar di atas penderitaan, dan mengeluarkan aroma manis yang bisa menipu siapa
pun yang terlalu percaya pada keindahan.
Di
bawahnya, akar-akar mencuat seperti tangan tua yang ingin menggenggam leher
siapa saja yang berani terlalu dekat. Akar-akar itu bisa bergerak. Mereka
pernah mencabut ksatria dari pelananya, pernah mematahkan tongkat sihir para
penyihir angkuh. Mereka tak peduli siapa kamu. Mereka hanya tahu bahwa tanah
ini telah disakiti, dan kini ia menggigit balik.
Binatang-binatang
buas berkeliaran dalam diam. Bukan binatang biasa—melainkan makhluk-makhluk
yang pernah jadi pelindung langit, dikutuk oleh peperangan yang tak adil.
Matanya menyala merah, cakarnya melukai tidak hanya daging, tapi juga jiwa.
Salah satu dari mereka, penjaga malam berbulu kelam, mengintai dari balik
reruntuhan—tak menggonggong, tak meraung, hanya menunggu... dalam sabar yang
beracun.
Di
tengah hutan, mengalir sungai, tapi bukan air yang mengalir di
dalamnya—melainkan darah. Merah, kental, membawa serpihan kutukan dan nama-nama
yang terlupakan. Ia bermuara entah ke mana, tapi ia membawa semua cerita yang
tak selesai, semua dendam yang belum tuntas.
Tersebar
di sepanjang tepian sungai, makam-makam kuno berbaris rapi dalam keheningan
yang menyayat. Batu nisannya berlumut, beberapa retak, tapi masih menjaga
nama-nama yang pernah dicintai. Ada yang runtuh, ada yang sudah ditelan akar.
Di antara nisan dan sungai, berdiri bangunan indah yang kini runtuh—mungkin
dulunya kuil, mungkin istana kecil. Dindingnya retak, atapnya hilang, tapi
masih menyimpan kemegahan samar yang membuatmu ingin menangis, meski tak tahu
kenapa.
Hutan
Terlarang adalah tempat di mana luka-luka semesta bermekaran.
Ia bukan sekadar menyeramkan—ia adalah kenangan yang tak bisa dimaafkan. Tapi
jauh di dalam, sangat jauh, masih tersisa alam yang indah, meski nyaris hancur.
Masuklah
jika kau mau. Tapi jangan berharap bisa keluar tanpa membawa luka.
Karena hutan ini… tidak pernah lupa.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar